M. Yamin
Muhammad Yamin, SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903
– meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Talawi,
Sawahlunto.Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di
Indonesia, serta juga 'pencipta mitos' yang utama kepada Presiden
Sukarno.
Dilahirkan
di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin memulai karier sebagai
seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia
mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa
Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda,
pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada
bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air
merupakan himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah
diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern pertama dalam bahasa Melayu
juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang
juga merupakan seorang Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa
kepopuleran selama sepuluh tahun .
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928.
Karya ini amat penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin
dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu
tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal.
Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa muncul
juga pada tahun yang sama. Antara akhir dekade 1920-an sehingga tahun
1933, Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana
merupakan pionir-pionir utama bahasa Melayu-Indonesia dan
kesusasteraannya.
Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya,
dia masih lebih menepati norma-norma klasik bahasa Melayu, berbanding
dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan
banyak drama, esei, novel sejarah dan puisi yang lain, serta juga
menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan
Rabindranath Tagore.
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di
Jakarta. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta sehingga
tahun 1942. Karier politiknya dimulai dan beliau giat dalam
gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II
menetapkan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai
bahasa gerakan nasionalis Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia Muda,
Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah
bahasa kebangsaan. Oleh itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta
alat utama dalam kesusasteraan inovatif.
Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas pada
Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang
disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, beliau mencadangkan
bahwa sebuah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)
diasaskan serta juga bahwa negara yang baru mencakup Sarawak, Sabah,
Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah Hindia
Belanda. Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPK menyokong Yamin.
Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama pada tahun
1945, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam
pemerintahannya.
Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi, sebuah kota
kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto,
Sumatera Barat.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA,
yakni singkatan namanya, lahir di desa kampung Molek, Maninjau,
Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981
pada umur 73 tahun, adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan
aktivis politik.Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan
buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa
Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.Ayahnya adalah
Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan pelopor Gerakan Islah
(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga
kelas dua. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera
Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan
mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di
surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim
Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus
Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan
Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929.
Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan
Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun
1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi
Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun
1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama
oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika
Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat
dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam
maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana
Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James,
Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre
Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan
tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo
sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang
andal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan
khurafat, bid'ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai
tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada
tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan
dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.
Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di
Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan
Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres
Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti
Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi
beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya
tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi
anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato
dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947,
Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional,
Indonesia.Disamping Front PertahananNasional yang sudah ada didirikan
pula Badan Pengawal Negeri & kota (BPNK). Pimpinan tersebut diberi
nama Sekretariat yang terdiri dari lima orang yaitu HAMKA, Chatib
Sulaeman, Udin, Rasuna Said dan Karim Halim. Ia menjadi anggota
Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pemilihan Umum
tahun 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia
pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan
oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa
dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan
karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat
sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota
Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan
Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang
wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka
menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932,
beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar.
Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji
Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti
novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan
antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks
sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan
internasional seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa,
Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan
Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari
pemerintah Indonesia.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya
masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan
saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara
kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia
dan Singapura, turut dihargai.
Rohana Kudus
Rohana Kudus (lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 20 Desember 1884 –
meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972 pada umur 87 tahun) adalah
wartawan Indonesia. Ia lahir dari ayahnya yang bernama Rasjad Maharaja
Soetan dan ibunya bernama Kiam. Rohana Kudus adalah kakak tiri dari
Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama dan juga mak tuo
(bibi) dari penyair terkenal Chairil Anwar. Ia pun adalah sepupu H. Agus
Salim. Rohana hidup di zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses
perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia adalah
perdiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada
pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana termasuk
salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi
terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah
tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan,
keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan ketidakadilan
untuk perubahan nasib kaum perempuan.
Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia
rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang
selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan
semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi
yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Rohana sudah
bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga
belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke
Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya.
Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar menyulam, menjahit,
merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini
ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai
berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari
Rohana.
Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali ke
kampung dan menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang
berprofesi sebagai notaris. Rohana mendirikan sekolah keterampilan
khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah
Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan
untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi
pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Banyak sekali rintangan
yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-citanya. Jatuh bangun
memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial
menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang, bahkan
fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring dengan keinginannnya untuk
memajukan kaum perempuan. Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru
membuatnya tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya.
Selain berkiprah di sekolahnya, Rohana juga menjalin kerjasama dengan
pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan
jahit-menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Disamping itu juga Rohana
menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa
yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana
berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual
beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.
Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana.
Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Rohana juga menulis puisi dan
artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan orang
yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Rohana menjadi
topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat
kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan
pertama di Sumatera Barat.
Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan
kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung
dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting
Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar
perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan
penulisnya adalah perempuan.
Kisah sukses Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung lama
pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya
hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester
karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus
menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi
didampingi suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh
keluarga. Setelah beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak
terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya,
namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”.
Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk
menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana
School sangat terkenal muritnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi
tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Rohana sudah cukup
populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai
Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya
keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina dengan
menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain
belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid
di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi
yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai
orang Tionghoa.
Dengan kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran mengajar di
sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan
tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran
keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah lulusan
sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan
formal. Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam
melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa
Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.
Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan
mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang
terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak
perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak
Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan
menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala
kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus
mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus
sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat
beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu
pengetahuan”. Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak
menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada
pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk
dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh
ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan
untuk perempuan.
Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi,
Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang
membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya
dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga
mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke
Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam
sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta
api.
Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika
merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin
surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur
surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat
kabar Cahaya Sumatera. Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu
mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan
bagi kaum hawa yang diperjuangkannya.
Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam
kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan
bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung
Rohana. Selama hidupnya ia menerima penghargaan sebagai Wartawati
Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987,
Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers
Indonesia. Dan pada tahun 2008 pemerintah Indonesia menganugerahkan
Bintang Jasa Utama.
SITI MANGOPOH
Siti Mangopoh adalah pejuang wanita dari desa kecil terpencil di
Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Dilahirkan bulan Mei 1880, Siti Manggopoh
pada tahun 1908 melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda
melalui pajak uang (belasting). Gerakan rakyat untuk menolak kebijakan
belasting di Manggopoh disebut dengan Perang Belasting.Peraturan
belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau. Sebab, tanah
adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau.
Peristiwa yang tidak bisa dilupakan Belanda adalah gerakan yang
dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni 1908. Belanda sangat
kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau ini sehingga meminta
bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh.
Dengan
siasat yang diatur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya
berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Sebagai perempuan
Siti Manggopoh cukup mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Ia
memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari
informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka.Ia
pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke
benteng Belanda. Konflik batin tersebut adalah antara rasa keibuan yang
dalam terhadap anaknya yang erat menyusu di satu pihak dan panggilan
jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda di pihak lain, namun
ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk
membantu rakyat. Tanggung jawabnya sebagai ibu dilaksanakan kembali
setelah melakukan penyerangan. Bahkan anaknya, Dalima, dia bawa
melarikan diri ke hutan selama 17 hari dan selanjutnya dibawa serta
ketika ia ditangkap dan dipenjara 14 bulan di Lubuk Basung, Agam, 16
bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Mungkin karena anaknya masih
kecil atau karena alasan lainnya, akhirnya Siti Manggopoh dibebaskan.
Namun, suaminya dibuang ke Manado.
Sejarah Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol,lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia
1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng,
Minahasa, 6 November 1864, adalah salah seorang ulama, pemimpin dan
pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal
dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1838.Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, sebagai ulama
dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu
Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang
sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik
sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama
perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang
Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan
pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan
syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang
berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu
'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau
nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan
Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang
tidak sesuai dengan Islam (Bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri
(penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa
nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum
Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun
1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan
Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke
Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan
pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian
yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak
akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).
Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah
berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan
Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema
awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal
ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum
Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga
sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda
melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum
Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk
berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini
dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam
menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan
menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat
dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan
Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan
Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam
konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri.Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya
kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang
mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah
(Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama
orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun
hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?
(Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita.
Bagaimana pikiran kalian?).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda
dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)
yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan
tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari
berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama
para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan
Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak,
Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terda[at
nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche
Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko,
Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa,
4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen
(pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol
dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan
pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana
pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein
Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan
112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang
direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka
juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan
kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku
Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah
kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti
komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil
dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh
parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat
dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur,
Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak,
Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada
tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
pengasingannya tersebut.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi
apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai
penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia
pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa
sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran
Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.
SYEKH BURHANUDDIN, ULAKAN (1646 - 1704 )
Syekh Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan,
baik dalam literatur, maupun dari laporan bangsa Eropah lainnya. Salah
satu sumber utama yang menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan
lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno
tulisan Arab Melayu. Naskah itu berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih
Saghir Ulamiyah
Tuanku Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang ditulis pada tahun 1823.
Buku ini menjelaskan peranan surau dalam menyebarkan agama Islam di
pedalaman Minangkabau yang dikembangkan oleh murid-murid Syekh
Burhanuddin Ulakan.
Di samping itu, riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab Melayu
oleh Syekh Harun At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judulRiwayat Syekh
Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam.
Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono, yang kemudian
bergelar Syekh Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas kehidupan keluarga,
masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian berlayar ke Aceh
untuk menimba ilmu kepada Syekh Abdurrauf al Singkli.
Syekh Burhanuddin adalah salah seorang dari murid Syekh Abdur Rauf al
Singkli yang dikenal juga dengan panggilan Syekh Kuala. Sekembali dari
Aceh, Syekh Burhanuddin membawa ajaran Tharikat Syattariyah ke Ulakan
pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat itu menyebar
melalui jalur perdagangan di Minangkabau sampai ke Kapeh-kapeh dan
Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek. Di
sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak
menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal
dari nama empat orang guru yang teruji kemasyhurannya.
Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari
seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari
Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang
memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap "syariat".
Tidak ada komentar :
Posting Komentar